POTENSI DESA BAGI KADERISASI DI GMKI - GMKI PADANG
Breaking News GMKI Padang:
Home » » POTENSI DESA BAGI KADERISASI DI GMKI

POTENSI DESA BAGI KADERISASI DI GMKI

PenulisGMKI Cabang Padang on 21/06/13 | Jumat, Juni 21, 2013


POTENSI DESA BAGI KADERISASI DI GMKI[1]
Oleh : Mantan BPC Periode 2007-2009[2]



PENGANTAR
Bosan sudah saya dan barangkali kita semua dalam terlibat pada pembicaraan tentang Negara Indonesia (Negara dimana kita adalah warganya) yang sesungguhnya kaya namun realitas kehidupan bangsanya menjadi ironi dari kekayaannya itu. Terutama dalam kita memandang kebijakan pemerintah yang menawarkan akan menaikkan harga BBM pada tahun 2013. Kemiskinan masyarakat yang selalu direlasikan dengan potensi sumber daya alam yang melimpah pasti menjadi referensi mengkritisi rencana pemerintah. Di sisi lain, si pemerintah, entah karena motivasi apa, padahal telah diberikan kewenangan dalam UU nomor 19 tahun 2012 untuk menaikkan harga BBM untuk mengantisipasi lonjakan subsidi akibat naiknya harga Minyak Dunia tetapi masih tetap saja mewacanakan rencana kenaikan harga BBM yang kemudian masuk dalam pro-kontra perdebatan.
Dalam banyak perdebatan itu, sinisme akhirnya menuntut pada praktek (karya) apa yang bisa dilakukan kita selain berjibaku dalam jebakan pro-kontra itu. Sekalipun sebenarnya, hal-hal yang menyangkut karya atau kerja yang dapat dilakukan sebaiknya tidak menjadi respon sinis dalam perdebatan, namun diarahkan menjadi lanjutan dari perdebatan itu sendiri. Oleh karenanya, respon saya atas respon sinis dalam perdebatan rencana kenaikan harga BBM itu lebih saya maksudkan sebagai wacana tindak lanjut.
Yang saya maksud wacana tindak lanjut di sini bukan difokuskan pada kita mau buat apa setelah rencana kenaikan harga BBM. Namun lebih berorientasi pada upaya mengevaluasi dinamika organisasi GMKI dalam pelayanannnya terutama di wilayah XIII yang meliputi Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. 

GMKI DAN GEJALA IMPOTENSINYA
          Sampai saat ini, dari sekian banyak organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) maka organisasi-organisasi seperti GMKI dan yang lainnya yang tergabung dalam Kelompok Cipayung masih diakui sebagai organisasi yang paling konsisten dalam kaderisasinya. Karena memang organisasi-organisasi mendeklare diri sebagai organisasi kader, maka wajar bila mereka memprioritaskan diri pada upaya pengkaderan sehingga menjadi wajar pula bila kaderisasinya masih tetap berjalan. Namun saya mulai ragu, apakah proses yang dilakukan itu adalah kaderisasi.
          Keraguan saya ini disebabkan terutama karena banyaknya desas-desus kaderisasi yang berjalan (terutama) di GMKI utamanya diindikasikan dengan Maper sebagai program pokok nan wajib lalu pergantian kepengurusan yang selalu ada penggantinya (tidak pernah kekurangan orang yang mau menjadi pengurus organisasi). Bagi saya apa yang ‘dijadikan’ indikator dari kaderisasi seperti itu justru mendegradasi makna kaderisasi itu sebagai regenerasi belaka. Ternyata keraguan saya itu benar dan menjadi gejala GMKI secara nasional yang dapat saya baca dari agenda Kongres XXXIII GMKI di Kota Manado pada bulan Oktober 2012 lalu masih saja ada yang mempermasalahkan PDSPK 2006 sebagai tidak atau kurang aplikatif. Dengan alasan dari waktu ke waktu yang mirip bahkan sama, yaitu persoalan fasilitator, sertifikasi, tidak efektifnya ToT dan tetek bengek lainnya.
          Di sisi lain saya melihat matinya (atau dengan bahasa yang lebih halus, redup) fungsi manajerial dalam tubuh GMKI. Tandanya sederhana saja yaitu ‘lintang-pukang’ nya panitia-panitia baik dalam persoalan pemenuhan kebutuhan dana dan berantakannya konsolidasi untuk mempersiapkan kegiatan atau program. Keadaan ini benar menjadikan setipa orang terlibat dalam kepanitiaan atau pelaksana program menjadi punya pengalaman dalam urusan mental, mengingat motivasi-motivasi yang diberikan dalam hal ini adalah seputar keyakinan bahwa Yesus Sang Kepala Gerakan pasti menyertai, bahwa GMKI bukan adalah gemeinschaft bukan Gesselchaft atau sekalipun tertatih-tatih maka kegiatan GMKI pasti berjalan. Saya pikir dalam dunia yang semakin ‘gila’ ini, tuntutan bagi kader GMKI bukan hanya menjadi spiritual maupun milatan saja, namun juga aspek ke-profesional-an nya juga harus digeber.
          Dalam beberapa Konperensi Cabang maupun Kongres yang saya hadiri, persoalan evaluasi organisasi pun tidak terukur. Percakapan tentang laporan keuangan direduksi menjadi sekedar urusan transparan atau tidaknya pengurus padahal seharusnya urusan ini bisa selesai dengan keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai pengawas dengan tugasnya yang memeriksa keuangan. Sementara dalam prespektif akuntabilitas, laporan keuangannya seharusnya bisa menjadi alat untuk mengukur kinerja kepengurusan. Saya juga (maaf) prihatin dengan laporan keuangan yang disajikan PP GMKI pada website organisasi yang seolah-olah hanya ingin mengatakan “Bang, Kak, ini lho uang kalian sumbangkan kami pergunakan untuk keperluan organisasi”. Padahal dalam hasil pemeriksaan BPK PP GMKI pada Kongres XXXIII terhadap laporan keuangan yang sangat berantakan jelas merekomendasikan agar laporan keuangan PP GMKI selanjutnya harus sistematis dan disesuaikan dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Bila keadaan laporan keuangan PP saja begitu, maka tentulah kita sangat tidak bisa berharap banyak terhadap baiknya laporan keuangan BPC maupun komisariat.
          Itu masih dalam konteks internal organisasi. Belum kita membahas persoalan bahwa mantan ketua/sekretaris cabang kelak proyeksinya bagaimana? Saya pikir pertanyaan begini sudah pantas dipertanyakan untuk memikirkan proyeksi kader-kader pasca ber-GMKI mengingat sebaran senior-senior GMKI yang sudah sangat meluas di seluruh nusantara dalam ragam bidang atau spesifik keahlian profesi. Imajinasi liar saya sering berkelana dalam pikiran bahwa nanti setelah purna jadi ketua cabang GMKI maka yang bersangkutan dipantaskan dirinya oleh GMKI untuk menjadi manajer bila ia bekerja di perusahaan atau ia berani membangun perusahaan dengan segala link yang sudah dimilikinya. Atau bila ia pernah menjadi BPK GMKI maka ia dipantaskan untuk menjadi auditor atau supervisor yang handal dan berkarir dengan sangat cepat. Atau bila ia pernah menjadi ketua bidang maka ia dipantaskan menjadi staf ahli yang disenangi pekerjaannya, dan lain sebagainya. Imajinasi yang liar ‘ndak beketentuan’ itu saya yakini akan dapat terwujud, entah kenapa saya kok yakin.
          Keadaan yang saya sebutkan di atas saya lihat dalam kecenderungan sebagai gejala GMKI yang menjadi ritualis. Maper menjadi ritual agar menjamin ‘ketersediaan’ anggota GMKI sehingga tidak BPC tidak percaya diri melaksanakan seleksi dalam menetapkan pantas atau tidaknya seseorang menyandang predikat kader GMKI. Konpercab atau kongres menjadi ritual yang boros uang sehingga tidak penting apa yang menjadi terobosan atau sejauh mana progresifitas organisasi menjadi catatan sehingga yang paling digemari adalah proses pemilihan ketua dan sekretaris. Atau laporan keuangan menjadi ritual untuk senior percaya ‘mendermakan’ uangnya ketimbang menjadi investasi sosial sehingga sembah sujud syukur pun dilakukan ketika pemerintah kota memberikan bantuan satu juta rupiah untuk satu tahun anggaran. Ritual-ritual organisasi yang cenderung begitu saya pikir adalah wujud hilangnya potensi organisasi sehingga rasanya layak saya sebut sebagai gejala impotensi.

MEDIA MAGANG DARI PROSES KADERISASI ITU BERNAMA DESA BINAAN
          Sampai hari ini saya berharap bahwa saya adalah satu dari ribuan kader GMKI yang ‘bernafsu’ meneruskan masa depan di desa. Sekalipun pilihan saya ini karena hilangnya percaya diri untuk meniti karir menjadi elit akibat ranah elit yang sempat saya masuki sangat kabur antara bisnis dan politik serta abdi nya, saya berharap banyak yang lainnya memilih desa karena demikian panggilannya.
Setelah menikmati sejuknya hawa pedesaan, saya terpikir tentang hubungan yang kongkret antara desa (sekalipun jauh dari kota) dengan proses pengkaderan di GMKI. Kok bisa?
Gejala-gejala impotensi dalam indikasi aktifitas organisasi yang terkesan ritualis yang saya sebut di atas itu saya pikir butuh ‘obat kuat’ atau penyegaran orientasi organisasi. Dalam hal ini obat kuat bagi masalah ini sebenarnya sudah ada. Obat kuat itu bernama PDSPK 2006 yang sudah dikonsumsi sejak tahun 2006. Tapi karena begitu akutnya kecenderungan aktifitas organisasi, sampai obat kuat yang dikonsumsinya pun tidak diyakini mampu menyembuhkan. Padahal dokter sendiri pun meyakini bahwa yang terpenting dari minum obat itu bukan manjur atau tidaknya obat itu tapi sejauh mana pasien itu yakin bahwa obat yang diminumnya dapat menyembuhkan. Saya pikir semua kader GMKI tahu lah bahwa kekuatan air ponari itu lebih dikarenakan sugesti dari dalam diri orang yang meminumnya.
Lalu, bila obat tidak mampu, apa langkah lain?
Saya mendapati diskusi-diskusi yang dibangun GMKI terutama di Padang dan Wilayah XIII tidak senikmat diskusi pada masa-masa awal saya bergabung di GMKI dulu. Saya masih ingat dulu, rasanya tidak puas dan seperti ketinggalan bila tidak hadir di warung Da Jay (warung makan tempat berkumpulnya aktifis mahasiswa di Kota Padang) pada malam hari. Di situ kita dipaksa keadaan untuk buka suara, berargumen bahkan berdebat malah kadang saling maki. Tetapi selalu ada pencerahan dari setiap diskusi yang topiknya tentu tidak pernah ditetapkan sebelumnya. Namun di zaman teknologi informasi yang sangat canggih ini momen-momen seperti itu sudah konversi menjadi komunikasi tidak langsung. Sehingga kenikmatan merasakan getaran nada suara seseorang, tekanan psikologis dari tatapan lawan bicara, paksaan untuk memasang air muka yang tenang dan upaya memaki namun tidak mendapat sakit hati, terampas oleh kecanggihan dunia baru bernama native digital era. Yang paling terasa adalah menguatnya model komunikasi untuk sekedar eksis tanpa makna. Akibatnya proses-proses berorganisasi cenderung tidak menarik dan memperlemah konsolidasi organisasi itu sendiri. Untuk mengatasi hal ini (tidak menariknya organisasi) saya sudag pernah sharing dengan beberapa pengurus untuk menerapkan strategi dansa dan bir.
Kader GMKI menjadi kurang latihan. Atau cenderung seperti katak dalam tempurung karena kesempatan untuk membawa nama baik organisasi dalam pertemuan mahasiswa lintas organisasi menjadi sangat minim,
Oleh karenanya desa dapat menjadi salah satu alternatif penyegaran orientasi organisasi. Desa dengan masyarakat yang cenderung homogeny dalam segala keterbatasannya dapat menjadi laboratorium bagi kader GMKI untuk melatih diri. Di sana GMKI dapat hadir sebagai pemberdaya yang membawa pencerahan bagi masyarakat desa dalam ragam aspek kehidupan apakah sosial politik, ekonomi, spiritualitas, kebudayaan dan lain-lain.
Mumpung mahasiswa (sekalipun tidak setinggi dulu) masih diapresiasi sebagai kaum terpelajar dengan kadar pengabdian yang masih murni saya pikir momen ini perlu dijadikan peluan. Di sana di desa, kader-kader GMKI dapat melatih kemampuan public speaking nya, dapat mempraktekkan kemampuan berpikir metodologisnya dengan mencoba mengamati kecenderungan masyarakat, memetakan permasalahan yang terjadi di sana lalu menganalisisnya dan memikirkan apa alternative jalan keluar dari masalah yang ditemukan. Di sana kader GMKI juga dapat melatih membangun opini masyarakat melalui komponen dan struktur masyarakat yang tersedia. Bahkan juga dapat mendesain serta merealisasikan gerakan bersama dalam masyarakat.
Di sana di desa, kader GMKI dituntut untuk menjaga nama baik organisasi. Hal ini secara otomotais akan menumbuhkan kesetian dan loyalitas kader tehadap organisasi. Tuntutan menjaga nama baik organisasi dan alamater mahasiswa juga memaksa mereka untuk tampil sempurna (perfect) di hadapan masyarakat sehingga tidak terlihat bego atau asal-asalan. Hal ini dengan sendirinya akan membuat kader berupaya keras untuk memenuhi kebutuahan (semisal penguasan bahan yang akan dipropagandakan) dengan banyak membaca atau mencari sumber-sumber lainnya. Dan yang lebih penting, desa yang cenderung tertinggal dari kota ini dapat membuat kader dekat dengan realitas kerakyatan Indonesia sehingga (mudah-mudahan) dapat memacu adrenalin nasionalisme atau cinta tanah airnya, hal ini dapat dilanjutkan dengan urusan mental atau integritas kader.
Akan sangat baik lagi bila pengurus di tingkatan cabang (BPC) sebagai penanggungjawab keberlangungan kaderisasi dapat merelasikan program bakti sosial atau pemberdayaan masyarakat desa atau desa binaan dengan strategi formal kaderisasi. Sehingga menjadi nyatalah desa binaan atau pemberdayaan masyarakat desa sebagai laboratorium kaderisasi formal yang direncanakan dan dapat dievaluasi untuk diserifikasi. Hal ini sangat mungkin melihat PDSPK 2006 GMKI yang lebih berorientasi pada penguatan aspek afektif dan psikomotorik ketimbang aspek kognitif pada level awalnya itu.

PENUTUP
          Semoga tulisan yang sangat sederhana dan berantakan ini dapat menginspirasi dan memberikan pencerahan bagi GMKI terutama di Padang dan Wilayah XIII. Yesus Kristus memberkati.



[1] Berbagi suntuknya pikiran untuk GMKI di wilayah XIII
[2] Korwil XIII PP GMKI Masa Bakti 2010 -2012
Share this article :

Papan Informasi

Papan Informasi

Pengikut

Advertisements

Daftar Isi

Ruang Chating

Info Gempa Terkini

 

Copyright © 2015 - 2017. GMKI PADANG - BPC GMKI Padang MB 2015-2017 - All Rights Reserved
Desain dan Editing Badan Pengurus Cabang GMKI Padang
Powered By Blogger