GMKI PADANG: Karya Kader
Breaking News GMKI Padang:

Tampilkan postingan dengan label Karya Kader. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Karya Kader. Tampilkan semua postingan

Hidup Manusia Dalam ke Kristenan

PenulisGMKI Cabang Padang on 27/09/13 | Jumat, September 27, 2013

Hidup Manusia Dalam ke Kristenan
Oleh : Rikki Fernando Sinaga

          Banyaknya persoalan kehidupan yang sering kita hadapi membuat kita bertanya-tanya mengenai apa itu hidup. Apalagi, banyak teori-teori yang menjelaskan tentang kehidupan. Akibatnya, kita sering terombang-ambing dalam pertanyaan kita sendiri. 
          Apa sih hidup itu ? sebuah pertanyaan yang memang begitu sederhana terkadang membuat kita pergi dan menjauhi Tuhan.  Hidup merupakan sebuah kata yang sangat dahsyat diatas kata cinta. Tetapi dengan  kelebihan manusia yang diberikan oleh penciptanya yaitu akal pikiran, membuat manusia  menilai kehidupan dengan sudut pandang yang bersifat rasional dan ada juga  manusia  menilai kehidupan dengan menggunakan kecerdasan emosional spiritual yang memang sudah tertanam sejak seorang manusia hadir dalam sebuah kehidupan.
Read more »»  

POTENSI DESA BAGI KADERISASI DI GMKI

PenulisGMKI Cabang Padang on 21/06/13 | Jumat, Juni 21, 2013


POTENSI DESA BAGI KADERISASI DI GMKI[1]
Oleh : Mantan BPC Periode 2007-2009[2]



PENGANTAR
Bosan sudah saya dan barangkali kita semua dalam terlibat pada pembicaraan tentang Negara Indonesia (Negara dimana kita adalah warganya) yang sesungguhnya kaya namun realitas kehidupan bangsanya menjadi ironi dari kekayaannya itu. Terutama dalam kita memandang kebijakan pemerintah yang menawarkan akan menaikkan harga BBM pada tahun 2013. Kemiskinan masyarakat yang selalu direlasikan dengan potensi sumber daya alam yang melimpah pasti menjadi referensi mengkritisi rencana pemerintah. Di sisi lain, si pemerintah, entah karena motivasi apa, padahal telah diberikan kewenangan dalam UU nomor 19 tahun 2012 untuk menaikkan harga BBM untuk mengantisipasi lonjakan subsidi akibat naiknya harga Minyak Dunia tetapi masih tetap saja mewacanakan rencana kenaikan harga BBM yang kemudian masuk dalam pro-kontra perdebatan.
Dalam banyak perdebatan itu, sinisme akhirnya menuntut pada praktek (karya) apa yang bisa dilakukan kita selain berjibaku dalam jebakan pro-kontra itu. Sekalipun sebenarnya, hal-hal yang menyangkut karya atau kerja yang dapat dilakukan sebaiknya tidak menjadi respon sinis dalam perdebatan, namun diarahkan menjadi lanjutan dari perdebatan itu sendiri. Oleh karenanya, respon saya atas respon sinis dalam perdebatan rencana kenaikan harga BBM itu lebih saya maksudkan sebagai wacana tindak lanjut.
Yang saya maksud wacana tindak lanjut di sini bukan difokuskan pada kita mau buat apa setelah rencana kenaikan harga BBM. Namun lebih berorientasi pada upaya mengevaluasi dinamika organisasi GMKI dalam pelayanannnya terutama di wilayah XIII yang meliputi Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. 

GMKI DAN GEJALA IMPOTENSINYA
          Sampai saat ini, dari sekian banyak organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) maka organisasi-organisasi seperti GMKI dan yang lainnya yang tergabung dalam Kelompok Cipayung masih diakui sebagai organisasi yang paling konsisten dalam kaderisasinya. Karena memang organisasi-organisasi mendeklare diri sebagai organisasi kader, maka wajar bila mereka memprioritaskan diri pada upaya pengkaderan sehingga menjadi wajar pula bila kaderisasinya masih tetap berjalan. Namun saya mulai ragu, apakah proses yang dilakukan itu adalah kaderisasi.
          Keraguan saya ini disebabkan terutama karena banyaknya desas-desus kaderisasi yang berjalan (terutama) di GMKI utamanya diindikasikan dengan Maper sebagai program pokok nan wajib lalu pergantian kepengurusan yang selalu ada penggantinya (tidak pernah kekurangan orang yang mau menjadi pengurus organisasi). Bagi saya apa yang ‘dijadikan’ indikator dari kaderisasi seperti itu justru mendegradasi makna kaderisasi itu sebagai regenerasi belaka. Ternyata keraguan saya itu benar dan menjadi gejala GMKI secara nasional yang dapat saya baca dari agenda Kongres XXXIII GMKI di Kota Manado pada bulan Oktober 2012 lalu masih saja ada yang mempermasalahkan PDSPK 2006 sebagai tidak atau kurang aplikatif. Dengan alasan dari waktu ke waktu yang mirip bahkan sama, yaitu persoalan fasilitator, sertifikasi, tidak efektifnya ToT dan tetek bengek lainnya.
          Di sisi lain saya melihat matinya (atau dengan bahasa yang lebih halus, redup) fungsi manajerial dalam tubuh GMKI. Tandanya sederhana saja yaitu ‘lintang-pukang’ nya panitia-panitia baik dalam persoalan pemenuhan kebutuhan dana dan berantakannya konsolidasi untuk mempersiapkan kegiatan atau program. Keadaan ini benar menjadikan setipa orang terlibat dalam kepanitiaan atau pelaksana program menjadi punya pengalaman dalam urusan mental, mengingat motivasi-motivasi yang diberikan dalam hal ini adalah seputar keyakinan bahwa Yesus Sang Kepala Gerakan pasti menyertai, bahwa GMKI bukan adalah gemeinschaft bukan Gesselchaft atau sekalipun tertatih-tatih maka kegiatan GMKI pasti berjalan. Saya pikir dalam dunia yang semakin ‘gila’ ini, tuntutan bagi kader GMKI bukan hanya menjadi spiritual maupun milatan saja, namun juga aspek ke-profesional-an nya juga harus digeber.
          Dalam beberapa Konperensi Cabang maupun Kongres yang saya hadiri, persoalan evaluasi organisasi pun tidak terukur. Percakapan tentang laporan keuangan direduksi menjadi sekedar urusan transparan atau tidaknya pengurus padahal seharusnya urusan ini bisa selesai dengan keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai pengawas dengan tugasnya yang memeriksa keuangan. Sementara dalam prespektif akuntabilitas, laporan keuangannya seharusnya bisa menjadi alat untuk mengukur kinerja kepengurusan. Saya juga (maaf) prihatin dengan laporan keuangan yang disajikan PP GMKI pada website organisasi yang seolah-olah hanya ingin mengatakan “Bang, Kak, ini lho uang kalian sumbangkan kami pergunakan untuk keperluan organisasi”. Padahal dalam hasil pemeriksaan BPK PP GMKI pada Kongres XXXIII terhadap laporan keuangan yang sangat berantakan jelas merekomendasikan agar laporan keuangan PP GMKI selanjutnya harus sistematis dan disesuaikan dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Bila keadaan laporan keuangan PP saja begitu, maka tentulah kita sangat tidak bisa berharap banyak terhadap baiknya laporan keuangan BPC maupun komisariat.
          Itu masih dalam konteks internal organisasi. Belum kita membahas persoalan bahwa mantan ketua/sekretaris cabang kelak proyeksinya bagaimana? Saya pikir pertanyaan begini sudah pantas dipertanyakan untuk memikirkan proyeksi kader-kader pasca ber-GMKI mengingat sebaran senior-senior GMKI yang sudah sangat meluas di seluruh nusantara dalam ragam bidang atau spesifik keahlian profesi. Imajinasi liar saya sering berkelana dalam pikiran bahwa nanti setelah purna jadi ketua cabang GMKI maka yang bersangkutan dipantaskan dirinya oleh GMKI untuk menjadi manajer bila ia bekerja di perusahaan atau ia berani membangun perusahaan dengan segala link yang sudah dimilikinya. Atau bila ia pernah menjadi BPK GMKI maka ia dipantaskan untuk menjadi auditor atau supervisor yang handal dan berkarir dengan sangat cepat. Atau bila ia pernah menjadi ketua bidang maka ia dipantaskan menjadi staf ahli yang disenangi pekerjaannya, dan lain sebagainya. Imajinasi yang liar ‘ndak beketentuan’ itu saya yakini akan dapat terwujud, entah kenapa saya kok yakin.
          Keadaan yang saya sebutkan di atas saya lihat dalam kecenderungan sebagai gejala GMKI yang menjadi ritualis. Maper menjadi ritual agar menjamin ‘ketersediaan’ anggota GMKI sehingga tidak BPC tidak percaya diri melaksanakan seleksi dalam menetapkan pantas atau tidaknya seseorang menyandang predikat kader GMKI. Konpercab atau kongres menjadi ritual yang boros uang sehingga tidak penting apa yang menjadi terobosan atau sejauh mana progresifitas organisasi menjadi catatan sehingga yang paling digemari adalah proses pemilihan ketua dan sekretaris. Atau laporan keuangan menjadi ritual untuk senior percaya ‘mendermakan’ uangnya ketimbang menjadi investasi sosial sehingga sembah sujud syukur pun dilakukan ketika pemerintah kota memberikan bantuan satu juta rupiah untuk satu tahun anggaran. Ritual-ritual organisasi yang cenderung begitu saya pikir adalah wujud hilangnya potensi organisasi sehingga rasanya layak saya sebut sebagai gejala impotensi.

MEDIA MAGANG DARI PROSES KADERISASI ITU BERNAMA DESA BINAAN
          Sampai hari ini saya berharap bahwa saya adalah satu dari ribuan kader GMKI yang ‘bernafsu’ meneruskan masa depan di desa. Sekalipun pilihan saya ini karena hilangnya percaya diri untuk meniti karir menjadi elit akibat ranah elit yang sempat saya masuki sangat kabur antara bisnis dan politik serta abdi nya, saya berharap banyak yang lainnya memilih desa karena demikian panggilannya.
Setelah menikmati sejuknya hawa pedesaan, saya terpikir tentang hubungan yang kongkret antara desa (sekalipun jauh dari kota) dengan proses pengkaderan di GMKI. Kok bisa?
Gejala-gejala impotensi dalam indikasi aktifitas organisasi yang terkesan ritualis yang saya sebut di atas itu saya pikir butuh ‘obat kuat’ atau penyegaran orientasi organisasi. Dalam hal ini obat kuat bagi masalah ini sebenarnya sudah ada. Obat kuat itu bernama PDSPK 2006 yang sudah dikonsumsi sejak tahun 2006. Tapi karena begitu akutnya kecenderungan aktifitas organisasi, sampai obat kuat yang dikonsumsinya pun tidak diyakini mampu menyembuhkan. Padahal dokter sendiri pun meyakini bahwa yang terpenting dari minum obat itu bukan manjur atau tidaknya obat itu tapi sejauh mana pasien itu yakin bahwa obat yang diminumnya dapat menyembuhkan. Saya pikir semua kader GMKI tahu lah bahwa kekuatan air ponari itu lebih dikarenakan sugesti dari dalam diri orang yang meminumnya.
Lalu, bila obat tidak mampu, apa langkah lain?
Saya mendapati diskusi-diskusi yang dibangun GMKI terutama di Padang dan Wilayah XIII tidak senikmat diskusi pada masa-masa awal saya bergabung di GMKI dulu. Saya masih ingat dulu, rasanya tidak puas dan seperti ketinggalan bila tidak hadir di warung Da Jay (warung makan tempat berkumpulnya aktifis mahasiswa di Kota Padang) pada malam hari. Di situ kita dipaksa keadaan untuk buka suara, berargumen bahkan berdebat malah kadang saling maki. Tetapi selalu ada pencerahan dari setiap diskusi yang topiknya tentu tidak pernah ditetapkan sebelumnya. Namun di zaman teknologi informasi yang sangat canggih ini momen-momen seperti itu sudah konversi menjadi komunikasi tidak langsung. Sehingga kenikmatan merasakan getaran nada suara seseorang, tekanan psikologis dari tatapan lawan bicara, paksaan untuk memasang air muka yang tenang dan upaya memaki namun tidak mendapat sakit hati, terampas oleh kecanggihan dunia baru bernama native digital era. Yang paling terasa adalah menguatnya model komunikasi untuk sekedar eksis tanpa makna. Akibatnya proses-proses berorganisasi cenderung tidak menarik dan memperlemah konsolidasi organisasi itu sendiri. Untuk mengatasi hal ini (tidak menariknya organisasi) saya sudag pernah sharing dengan beberapa pengurus untuk menerapkan strategi dansa dan bir.
Kader GMKI menjadi kurang latihan. Atau cenderung seperti katak dalam tempurung karena kesempatan untuk membawa nama baik organisasi dalam pertemuan mahasiswa lintas organisasi menjadi sangat minim,
Oleh karenanya desa dapat menjadi salah satu alternatif penyegaran orientasi organisasi. Desa dengan masyarakat yang cenderung homogeny dalam segala keterbatasannya dapat menjadi laboratorium bagi kader GMKI untuk melatih diri. Di sana GMKI dapat hadir sebagai pemberdaya yang membawa pencerahan bagi masyarakat desa dalam ragam aspek kehidupan apakah sosial politik, ekonomi, spiritualitas, kebudayaan dan lain-lain.
Mumpung mahasiswa (sekalipun tidak setinggi dulu) masih diapresiasi sebagai kaum terpelajar dengan kadar pengabdian yang masih murni saya pikir momen ini perlu dijadikan peluan. Di sana di desa, kader-kader GMKI dapat melatih kemampuan public speaking nya, dapat mempraktekkan kemampuan berpikir metodologisnya dengan mencoba mengamati kecenderungan masyarakat, memetakan permasalahan yang terjadi di sana lalu menganalisisnya dan memikirkan apa alternative jalan keluar dari masalah yang ditemukan. Di sana kader GMKI juga dapat melatih membangun opini masyarakat melalui komponen dan struktur masyarakat yang tersedia. Bahkan juga dapat mendesain serta merealisasikan gerakan bersama dalam masyarakat.
Di sana di desa, kader GMKI dituntut untuk menjaga nama baik organisasi. Hal ini secara otomotais akan menumbuhkan kesetian dan loyalitas kader tehadap organisasi. Tuntutan menjaga nama baik organisasi dan alamater mahasiswa juga memaksa mereka untuk tampil sempurna (perfect) di hadapan masyarakat sehingga tidak terlihat bego atau asal-asalan. Hal ini dengan sendirinya akan membuat kader berupaya keras untuk memenuhi kebutuahan (semisal penguasan bahan yang akan dipropagandakan) dengan banyak membaca atau mencari sumber-sumber lainnya. Dan yang lebih penting, desa yang cenderung tertinggal dari kota ini dapat membuat kader dekat dengan realitas kerakyatan Indonesia sehingga (mudah-mudahan) dapat memacu adrenalin nasionalisme atau cinta tanah airnya, hal ini dapat dilanjutkan dengan urusan mental atau integritas kader.
Akan sangat baik lagi bila pengurus di tingkatan cabang (BPC) sebagai penanggungjawab keberlangungan kaderisasi dapat merelasikan program bakti sosial atau pemberdayaan masyarakat desa atau desa binaan dengan strategi formal kaderisasi. Sehingga menjadi nyatalah desa binaan atau pemberdayaan masyarakat desa sebagai laboratorium kaderisasi formal yang direncanakan dan dapat dievaluasi untuk diserifikasi. Hal ini sangat mungkin melihat PDSPK 2006 GMKI yang lebih berorientasi pada penguatan aspek afektif dan psikomotorik ketimbang aspek kognitif pada level awalnya itu.

PENUTUP
          Semoga tulisan yang sangat sederhana dan berantakan ini dapat menginspirasi dan memberikan pencerahan bagi GMKI terutama di Padang dan Wilayah XIII. Yesus Kristus memberkati.



[1] Berbagi suntuknya pikiran untuk GMKI di wilayah XIII
[2] Korwil XIII PP GMKI Masa Bakti 2010 -2012
Read more »»  

Formulir Maper I GMKI Padang 2013

PenulisGMKI Cabang Padang on 04/05/13 | Sabtu, Mei 04, 2013

Mars Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia

Lagu Mars GMKI

Mahasiswa Kristen semua 

Ikutlah GMKI

Gerakan kita Tuhan yang serta

Pada-Nya kita berbakti 

Agar bawa terang cinta-Nya
Dalam dunia mahasiswa
Biar mereka t'rima pada-Nya
Dan hidup berbahagia 
Reff :
Hai dengarlah suara-Nya

Memanggil kamu

Ikutlah menangkan jiwa

Bagi Juruslamatmu

Kristuslah yang pimpin
Agar semua satu adanya
Ut Omnes Unum Sint
Itulah amsal kita
(back to Reff)

Download Disini Mars GMKI
Read more »»  

Benarkah Indonesia Sudah Merdeka ?.

PenulisGMKI Cabang Padang on 21/02/13 | Kamis, Februari 21, 2013

Republik Indonesia ialah sebuah negara kepulauan yang disebut sebagai Nusantara (Kepulauan Antara) yang terletak di antara tanah besar Asia Tenggara dan Australia dan antara Lautan Hindi dan Lautan Pasifik. Indonesia bersempadankan Malaysia di Kalimantan,Papua New Guinea di pulau Papua, dan Timor Timur/Timor Leste di pulau Timor.

Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah oleh “Manusia Jawa” pada masa sekitar 500.000 tahun yang lalu. Periode dalam sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima era: era pra kolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan; era kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda selama sekitar 3,5 abad antara awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20; era kemerdekaan, pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) sampai jatuhnya Soekarno (1966); era Orde Baru, 32 tahun masa pemerintahan Soeharto (1966–1998); serta era reformasi yang berlangsung sampai sekarang.
Sejarah/Asal Usul berdiri Negara Indonesia
Prasejarah

Secara geologi, wilayah Indonesia modern muncul kira-kira sekitar masa Pleistocene ketika masih terhubung dengan Asia Daratan. Pemukim pertama wilayah tersebut yang diketahui adalah manusia Jawa pada masa sekitar 500.000 tahun lalu. Kepulauan Indonesia seperti yang ada saat ini terbentuk pada saat melelehnya es setelah berakhirnya Zaman Es.

Era pra kolonial

Para cendekiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa dan Sumatra sekitar 200 SM. Kerajaan Tarumanagara menguasai Jawa Barat sekitar tahun 400. Pada tahun 425 agama Buddha telah mencapai wilayah tersebut. Pada masa Renaisans Eropa, Jawa dan Sumatra telah mempunyai warisan peradaban berusia ribuan tahun dan sepanjang dua kerajaan besar yaitu Majapahit di Jawa dan Sriwijaya di Sumatra sedangkan pulau Jawa bagian barat mewarisi peradaban dari kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda.

Kerajaan Hindu-Buddha

Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 di wilayah Jawa Barat terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I Ching mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.

Kerajaan Islam

Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar abad ke-12, namun sebenarnya Islam sudah sudah masuk ke Indonesia pada abad 7 Masehi. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani umayyah di Asia Barat sejak abad 7. Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dari Khilafah Bani Umayah meminta dikirimkan da`i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan.

Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.
Islam terus mengokoh menjadi institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayang Ullah.

Kesultanan Islam kemudian semikin menyebarkan ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir abad ke-16 di Jawa dan Sumatra. Hanya Bali yang tetap mempertahankan mayoritas Hindu. Di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawan Kristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan 17, dan saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut.

Penyebaran Islam dilakukan/didorong melalui hubungan perdagangan di luar Nusantara; hal ini, karena para penyebar dakwah atau mubaligh merupakan utusan dari pemerintahan islam yg datang dari luar Indonesia, maka untuk menghidupi diri dan keluarga mereka, para mubaligh ini bekerja melalui cara berdagang, para mubaligh inipun menyebarkan Islam kepada para pedagang dari penduduk asli, hingga para pedagang ini memeluk Islam dan meyebarkan pula ke penduduk lainnya, karena umumnya pedagang dan ahli kerajaan/kesultanan lah yang pertama mengadopsi agama baru tersebut. Kesultanan/Kerajaan penting termasuk Samudra Pasai, Kesultanan Banten yang menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa, Kerajaan Mataram di Yogja / Jawa Tengah, dan Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku di timur.

Kolonisasi Belanda

Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya yang tidak terpengaruh adalah Timor Portugis, yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika berintegrasi menjadi provinsi Indonesia bernama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun, kecuali untuk suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari Indonesia dikuasai Britania setelah Perang Jawa Britania-Belanda dan masa penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia II. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia-Belanda menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di dunia. 350 tahun penjajahan Belanda bagi sebagian orang adalah mitos belaka karena wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian setelah Belanda mendekati kebangkrutannya.

VOC

Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.

Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala. VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.

Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya – baik yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 1870.

Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Kebijakan Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini.

Gerakan nasionalisme

Pada 1905 gerakan nasionalis yang pertama, [Serikat Dagang Islam] dibentuk dan kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan nasionalis berikutnya, [Budi Utomo]. Belanda merespon hal tersebut setelah Perang Dunia I dengan langkah-langkah penindasan. Para pemimpin nasionalis berasal dari kelompok kecil yang terdiri dari profesional muda dan pelajar, yang beberapa di antaranya telah dididik di Belanda. Banyak dari mereka yang dipenjara karena kegiatan politis, termasuk Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno.

Perang Dunia II

Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke AS dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.

Era Jepang

Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.

Pada Maret 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada pertemuan pertamanya di bulan Mei, Soepomo membicarakan integrasi nasional dan melawan individualisme perorangan; sementara itu Muhammad Yamin mengusulkan bahwa negara baru tersebut juga sekaligus mengklaim Sarawak, Sabah, Malaya, Portugis Timur, dan seluruh wilayah Hindia-Belanda sebelum perang.
Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman Widjodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.

Era kemerdekaan

Mendengar kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan untuk membuat keputusan seperti itu pada 16 Agustus, Soekarno membacakan “Proklamasi” pada hari berikutnya. Kabar mengenai proklamasi menyebar melalui radio dan selebaran sementara pasukan militer Indonesia pada masa perang, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), para pemuda, dan lainnya langsung berangkat mempertahankan kediaman Soekarno.

Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.

Perang kemerdekaan

Dari 1945 hingga 1949, persatuan kelautan Australia yang bersimpati dengan usaha kemerdekaan, melarang segala pelayaran Belanda sepanjang konflik ini agar Belanda tidak mempunyai dukungan logistik maupun suplai yang diperlukan untuk membentuk kembali kekuasaan kolonial.

Usaha Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan yang kuat. Setelah kembali ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali ibukota kolonial Batavia, akibatnya para nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota mereka. Pada 27 Desember 1949 (lihat artikel tentang 27 Desember 1949), setelah 4 tahun peperangan dan negosiasi, Ratu Juliana dari Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB.

Demokrasi parlementer

Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.

Demokrasi Terpimpin

Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.

Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin”. Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah “rencana neo-kolonial” untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi Malaysia, hal ini dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetab Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).

Nasib Irian Barat Konflik Papua Barat

Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Irian), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961.

Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadapa Irian Jaya pada 1 Mei 1963.

Gerakan 30 September / G30 S PKI

Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.

Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali.

Era Orde Baru

Setelah Soeharto menjadi Presiden, salah satu pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia “bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB”, dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an. Dia juga memperkaya dirinya, keluarganya, dan rekan-rekat dekat melalui korupsi yang merajalela.

Irian Jaya

Setelah menolak supervisi dari PBB, pemerintah Indonesia melaksanakan “Act of Free Choice” (Aksi Pilihan Bebas) di Irian Jaya pada 1969 di mana 1.025 wakil kepala-kepala daerah Irian dipilih dan kemudian diberikan latihan dalam bahasa Indonesia. Mereka secara konsensus akhirnya memilih bergabung dengan Indonesia. Sebuah resolusi Sidang Umum PBB kemudian memastikan perpindahan kekuasaan kepada Indonesia. Penolakan terhadap pemerintahan Indonesia menimbulkan aktivitas-aktivitas gerilya berskala kecil pada tahun-tahun berikutnya setelah perpindahan kekuasaan tersebut. Dalam atmosfer yang lebih terbuka setelah 1998, pernyataan-pernyataan yang lebih eksplisit yang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia telah muncul.

Timor Timur

Dari 1596 hingga 1975, Timor Timur adalah sebuah jajahan Portugis di pulau Timor yang dikenal sebagai Timor Portugis dan dipisahkan dari pesisir utara Australia oleh Laut Timor. Akibat kejadian politis di Portugal, pejabat Portugal secara mendadak mundur dari Timor Timur pada 1975. Dalam pemilu lokal pada tahun 1975, Fretilin, sebuah partai yang dipimpin sebagian oleh orang-orang yang membawa paham Marxisme, dan UDT, menjadi partai-partai terbesar, setelah sebelumnya membentuk aliansi untuk mengkampanyekan kemerdekaan dari Portugal.

Pada 7 Desember 1975, pasukan Indonesia masuk ke Timor Timur. Indonesia, yang mempunyai dukungan material dan diplomatik, dibantu peralatan persenjataan yang disediakan Amerika Serikat dan Australia, berharap dengan memiliki Timor Timur mereka akan memperoleh tambahan cadangan minyak dan gas alam, serta lokasi yang strategis.
Pada masa-masa awal, pihak militer Indonesia (ABRI) membunuh hampir 200.000 warga Timor Timur — melalui pembunuhan, pemaksaan kelaparan dan lain-lain. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi saat Timor Timur berada dalam wilayah Indonesia.

Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia dalam sebuah pemungutan suara yang diadakan PBB. Sekitar 99% penduduk yang berhak memilih turut serta; 3/4-nya memilih untuk merdeka. Segera setelah hasilnya diumumkan, dikabarkan bahwa pihak militer Indonesia melanjutkan pengrusakan di Timor Timur, seperti merusak infrastruktur di daerah tersebut.
Pada Oktober 1999, MPR membatalkan dekrit 1976 yang menintegrasikan Timor Timur ke wilayah Indonesia, dan Otorita Transisi PBB (UNTAET) mengambil alih tanggung jawab untuk memerintah Timor Timur sehingga kemerdekaan penuh dicapai pada Mei 2002.

Krisis ekonomi

Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, serta ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

Era reformasi Pemerintahan Habibie

Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.

Pemerintahan Wahid

Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto – sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.

Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.

Pemerintahan Megawati

Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.

Pemerintahan Yudhoyono

Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.

Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.
 
Dimuat Ulang Oleh : Perdi Girsang


Referensi:
http://syadiashare.com/sinopsis-sejarah-indonesia.html
Read more »»  

Pencarian

Papan Informasi

Papan Informasi

Pengikut

Advertisements

Daftar Isi

Ruang Chating

Info Gempa Terkini

 

Copyright © 2015 - 2017. GMKI PADANG - BPC GMKI Padang MB 2015-2017 - All Rights Reserved
Desain dan Editing Badan Pengurus Cabang GMKI Padang
Powered By Blogger