Oleh : Mantan BPC Periode 2007-2009
PENGANTAR
Bosan sudah
saya dan barangkali kita semua dalam terlibat pada pembicaraan tentang Negara
Indonesia (Negara dimana kita adalah warganya) yang sesungguhnya kaya namun
realitas kehidupan bangsanya menjadi ironi dari kekayaannya itu. Terutama dalam
kita memandang kebijakan pemerintah yang menawarkan akan menaikkan harga BBM
pada tahun 2013. Kemiskinan masyarakat yang selalu direlasikan dengan potensi
sumber daya alam yang melimpah pasti menjadi referensi mengkritisi rencana
pemerintah. Di sisi lain, si pemerintah, entah karena motivasi apa, padahal
telah diberikan kewenangan dalam UU nomor 19 tahun 2012 untuk menaikkan harga
BBM untuk mengantisipasi lonjakan subsidi akibat naiknya harga Minyak Dunia
tetapi masih tetap saja mewacanakan rencana kenaikan harga BBM yang kemudian
masuk dalam pro-kontra perdebatan.
Dalam banyak
perdebatan itu, sinisme akhirnya menuntut pada praktek (karya) apa yang bisa
dilakukan kita selain berjibaku dalam jebakan pro-kontra itu. Sekalipun
sebenarnya, hal-hal yang menyangkut karya atau kerja yang dapat dilakukan
sebaiknya tidak menjadi respon sinis dalam perdebatan, namun diarahkan menjadi
lanjutan dari perdebatan itu sendiri. Oleh karenanya, respon saya atas respon
sinis dalam perdebatan rencana kenaikan harga BBM itu lebih saya maksudkan
sebagai wacana tindak lanjut.
Yang saya
maksud wacana tindak lanjut di sini bukan difokuskan pada kita mau buat apa
setelah rencana kenaikan harga BBM. Namun lebih berorientasi pada upaya
mengevaluasi dinamika organisasi GMKI dalam pelayanannnya terutama di wilayah
XIII yang meliputi Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau dan Provinsi
Kepulauan Riau.
GMKI DAN GEJALA
IMPOTENSINYA
Sampai
saat ini, dari sekian banyak organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) maka
organisasi-organisasi seperti GMKI dan yang lainnya yang tergabung dalam
Kelompok Cipayung masih diakui sebagai organisasi yang paling konsisten dalam
kaderisasinya. Karena memang organisasi-organisasi mendeklare diri sebagai
organisasi kader, maka wajar bila mereka memprioritaskan diri pada upaya
pengkaderan sehingga menjadi wajar pula bila kaderisasinya masih tetap
berjalan. Namun saya mulai ragu, apakah proses yang dilakukan itu adalah
kaderisasi.
Keraguan
saya ini disebabkan terutama karena banyaknya desas-desus kaderisasi yang
berjalan (terutama) di GMKI utamanya diindikasikan dengan Maper sebagai program
pokok nan wajib lalu pergantian kepengurusan yang selalu ada penggantinya
(tidak pernah kekurangan orang yang mau menjadi pengurus organisasi). Bagi saya
apa yang ‘dijadikan’ indikator dari kaderisasi seperti itu justru mendegradasi
makna kaderisasi itu sebagai regenerasi belaka. Ternyata keraguan saya itu
benar dan menjadi gejala GMKI secara nasional yang dapat saya baca dari agenda
Kongres XXXIII GMKI di Kota Manado pada bulan Oktober 2012 lalu masih saja ada
yang mempermasalahkan PDSPK 2006 sebagai tidak atau kurang aplikatif. Dengan
alasan dari waktu ke waktu yang mirip bahkan sama, yaitu persoalan fasilitator,
sertifikasi, tidak efektifnya ToT dan tetek bengek lainnya.
Di
sisi lain saya melihat matinya (atau dengan bahasa yang lebih halus, redup)
fungsi manajerial dalam tubuh GMKI. Tandanya sederhana saja yaitu
‘lintang-pukang’ nya panitia-panitia baik dalam persoalan pemenuhan kebutuhan
dana dan berantakannya konsolidasi untuk mempersiapkan kegiatan atau program.
Keadaan ini benar menjadikan setipa orang terlibat dalam kepanitiaan atau
pelaksana program menjadi punya pengalaman dalam urusan mental, mengingat
motivasi-motivasi yang diberikan dalam hal ini adalah seputar keyakinan bahwa
Yesus Sang Kepala Gerakan pasti menyertai, bahwa GMKI bukan adalah gemeinschaft
bukan Gesselchaft atau sekalipun tertatih-tatih maka kegiatan GMKI pasti
berjalan. Saya pikir dalam dunia yang semakin ‘gila’ ini, tuntutan bagi kader
GMKI bukan hanya menjadi spiritual maupun milatan saja, namun juga aspek
ke-profesional-an nya juga harus digeber.
Dalam
beberapa Konperensi Cabang maupun Kongres yang saya hadiri, persoalan evaluasi
organisasi pun tidak terukur. Percakapan tentang laporan keuangan direduksi
menjadi sekedar urusan transparan atau tidaknya pengurus padahal seharusnya
urusan ini bisa selesai dengan keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai
pengawas dengan tugasnya yang memeriksa keuangan. Sementara dalam prespektif
akuntabilitas, laporan keuangannya seharusnya bisa menjadi alat untuk mengukur
kinerja kepengurusan. Saya juga (maaf) prihatin dengan laporan keuangan yang
disajikan PP GMKI pada website organisasi yang seolah-olah hanya ingin
mengatakan “Bang, Kak, ini lho uang kalian sumbangkan kami pergunakan untuk
keperluan organisasi”. Padahal dalam hasil pemeriksaan BPK PP GMKI pada Kongres
XXXIII terhadap laporan keuangan yang sangat berantakan jelas merekomendasikan
agar laporan keuangan PP GMKI selanjutnya harus sistematis dan disesuaikan
dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Bila keadaan laporan keuangan
PP saja begitu, maka tentulah kita sangat tidak bisa berharap banyak terhadap
baiknya laporan keuangan BPC maupun komisariat.
Itu
masih dalam konteks internal organisasi. Belum kita membahas persoalan bahwa
mantan ketua/sekretaris cabang kelak proyeksinya bagaimana? Saya pikir
pertanyaan begini sudah pantas dipertanyakan untuk memikirkan proyeksi
kader-kader pasca ber-GMKI mengingat sebaran senior-senior GMKI yang sudah
sangat meluas di seluruh nusantara dalam ragam bidang atau spesifik keahlian
profesi. Imajinasi liar saya sering berkelana dalam pikiran bahwa nanti setelah
purna jadi ketua cabang GMKI maka yang bersangkutan dipantaskan dirinya oleh
GMKI untuk menjadi manajer bila ia bekerja di perusahaan atau ia berani
membangun perusahaan dengan segala link yang sudah dimilikinya. Atau bila ia
pernah menjadi BPK GMKI maka ia dipantaskan untuk menjadi auditor atau supervisor
yang handal dan berkarir dengan sangat cepat. Atau bila ia pernah menjadi ketua
bidang maka ia dipantaskan menjadi staf ahli yang disenangi pekerjaannya, dan
lain sebagainya. Imajinasi yang liar ‘ndak beketentuan’ itu saya yakini akan
dapat terwujud, entah kenapa saya kok yakin.
Keadaan
yang saya sebutkan di atas saya lihat dalam kecenderungan sebagai gejala GMKI
yang menjadi ritualis. Maper menjadi ritual agar menjamin ‘ketersediaan’
anggota GMKI sehingga tidak BPC tidak percaya diri melaksanakan seleksi dalam
menetapkan pantas atau tidaknya seseorang menyandang predikat kader GMKI.
Konpercab atau kongres menjadi ritual yang boros uang sehingga tidak penting
apa yang menjadi terobosan atau sejauh mana progresifitas organisasi menjadi
catatan sehingga yang paling digemari adalah proses pemilihan ketua dan
sekretaris. Atau laporan keuangan menjadi ritual untuk senior percaya
‘mendermakan’ uangnya ketimbang menjadi investasi sosial sehingga sembah sujud
syukur pun dilakukan ketika pemerintah kota memberikan bantuan satu juta rupiah
untuk satu tahun anggaran. Ritual-ritual organisasi yang cenderung begitu saya
pikir adalah wujud hilangnya potensi organisasi sehingga rasanya layak saya
sebut sebagai gejala impotensi.
MEDIA
MAGANG DARI PROSES KADERISASI ITU BERNAMA DESA BINAAN
Sampai
hari ini saya berharap bahwa saya adalah satu dari ribuan kader GMKI yang
‘bernafsu’ meneruskan masa depan di desa. Sekalipun pilihan saya ini karena
hilangnya percaya diri untuk meniti karir menjadi elit akibat ranah elit yang
sempat saya masuki sangat kabur antara bisnis dan politik serta abdi nya, saya
berharap banyak yang lainnya memilih desa karena demikian panggilannya.
Setelah
menikmati sejuknya hawa pedesaan, saya terpikir tentang hubungan yang kongkret
antara desa (sekalipun jauh dari kota) dengan proses pengkaderan di GMKI. Kok
bisa?
Gejala-gejala
impotensi dalam indikasi aktifitas organisasi yang terkesan ritualis yang saya
sebut di atas itu saya pikir butuh ‘obat kuat’ atau penyegaran orientasi
organisasi. Dalam hal ini obat kuat bagi masalah ini sebenarnya sudah ada. Obat
kuat itu bernama PDSPK 2006 yang sudah dikonsumsi sejak tahun 2006. Tapi karena
begitu akutnya kecenderungan aktifitas organisasi, sampai obat kuat yang
dikonsumsinya pun tidak diyakini mampu menyembuhkan. Padahal dokter sendiri pun
meyakini bahwa yang terpenting dari minum obat itu bukan manjur atau tidaknya
obat itu tapi sejauh mana pasien itu yakin bahwa obat yang diminumnya dapat
menyembuhkan. Saya pikir semua kader GMKI tahu lah bahwa kekuatan air ponari
itu lebih dikarenakan sugesti dari dalam diri orang yang meminumnya.
Lalu, bila obat
tidak mampu, apa langkah lain?
Saya mendapati
diskusi-diskusi yang dibangun GMKI terutama di Padang dan Wilayah XIII tidak
senikmat diskusi pada masa-masa awal saya bergabung di GMKI dulu. Saya masih
ingat dulu, rasanya tidak puas dan seperti ketinggalan bila tidak hadir di
warung Da Jay (warung makan tempat berkumpulnya aktifis mahasiswa di Kota
Padang) pada malam hari. Di situ kita dipaksa keadaan untuk buka suara,
berargumen bahkan berdebat malah kadang saling maki. Tetapi selalu ada
pencerahan dari setiap diskusi yang topiknya tentu tidak pernah ditetapkan
sebelumnya. Namun di zaman teknologi informasi yang sangat canggih ini
momen-momen seperti itu sudah konversi menjadi komunikasi tidak langsung.
Sehingga kenikmatan merasakan getaran nada suara seseorang, tekanan psikologis
dari tatapan lawan bicara, paksaan untuk memasang air muka yang tenang dan
upaya memaki namun tidak mendapat sakit hati, terampas oleh kecanggihan dunia
baru bernama native digital era. Yang
paling terasa adalah menguatnya model komunikasi untuk sekedar eksis tanpa
makna. Akibatnya proses-proses berorganisasi cenderung tidak menarik dan
memperlemah konsolidasi organisasi itu sendiri. Untuk mengatasi hal ini (tidak
menariknya organisasi) saya sudag pernah sharing dengan beberapa pengurus untuk
menerapkan strategi dansa dan bir.
Kader GMKI
menjadi kurang latihan. Atau cenderung seperti katak dalam tempurung karena
kesempatan untuk membawa nama baik organisasi dalam pertemuan mahasiswa lintas
organisasi menjadi sangat minim,
Oleh karenanya
desa dapat menjadi salah satu alternatif penyegaran orientasi organisasi. Desa
dengan masyarakat yang cenderung homogeny dalam segala keterbatasannya dapat
menjadi laboratorium bagi kader GMKI untuk melatih diri. Di sana GMKI dapat
hadir sebagai pemberdaya yang membawa pencerahan bagi masyarakat desa dalam
ragam aspek kehidupan apakah sosial politik, ekonomi, spiritualitas, kebudayaan
dan lain-lain.
Mumpung
mahasiswa (sekalipun tidak setinggi dulu) masih diapresiasi sebagai kaum
terpelajar dengan kadar pengabdian yang masih murni saya pikir momen ini perlu
dijadikan peluan. Di sana di desa, kader-kader GMKI dapat melatih kemampuan
public speaking nya, dapat mempraktekkan kemampuan berpikir metodologisnya
dengan mencoba mengamati kecenderungan masyarakat, memetakan permasalahan yang
terjadi di sana lalu menganalisisnya dan memikirkan apa alternative jalan
keluar dari masalah yang ditemukan. Di sana kader GMKI juga dapat melatih
membangun opini masyarakat melalui komponen dan struktur masyarakat yang
tersedia. Bahkan juga dapat mendesain serta merealisasikan gerakan bersama dalam
masyarakat.
Di sana di
desa, kader GMKI dituntut untuk menjaga nama baik organisasi. Hal ini secara
otomotais akan menumbuhkan kesetian dan loyalitas kader tehadap organisasi.
Tuntutan menjaga nama baik organisasi dan alamater mahasiswa juga memaksa
mereka untuk tampil sempurna (perfect) di hadapan masyarakat sehingga tidak
terlihat bego atau asal-asalan. Hal ini dengan sendirinya akan membuat kader
berupaya keras untuk memenuhi kebutuahan (semisal penguasan bahan yang akan
dipropagandakan) dengan banyak membaca atau mencari sumber-sumber lainnya. Dan
yang lebih penting, desa yang cenderung tertinggal dari kota ini dapat membuat
kader dekat dengan realitas kerakyatan Indonesia sehingga (mudah-mudahan) dapat
memacu adrenalin nasionalisme atau cinta tanah airnya, hal ini dapat
dilanjutkan dengan urusan mental atau integritas kader.
Akan sangat
baik lagi bila pengurus di tingkatan cabang (BPC) sebagai penanggungjawab
keberlangungan kaderisasi dapat merelasikan program bakti sosial atau
pemberdayaan masyarakat desa atau desa binaan dengan strategi formal
kaderisasi. Sehingga menjadi nyatalah desa binaan atau pemberdayaan masyarakat
desa sebagai laboratorium kaderisasi formal yang direncanakan dan dapat
dievaluasi untuk diserifikasi. Hal ini sangat mungkin melihat PDSPK 2006 GMKI
yang lebih berorientasi pada penguatan aspek afektif dan psikomotorik ketimbang
aspek kognitif pada level awalnya itu.
Semoga
tulisan yang sangat sederhana dan berantakan ini dapat menginspirasi dan
memberikan pencerahan bagi GMKI terutama di Padang dan Wilayah XIII. Yesus
Kristus memberkati.